Jangan Memaksa Orang-orang Membohongi Kita
Salah satu ciri orang yang dewasa di dalam spiritualitas adalah adanya sifat jujur di dalam orang tersebut. Mereka yang masih suka berbohong di sana sini jelas bukan anak Tuhan yang baik. Alkitab dengan tegas berbicara tentang kejujuran. Di dalam 10 hukum ada larangan: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. (Kel 20:16). Tuhan Yesus memberikan penekanan yang jauh lebih tegas lagi, ”Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.
Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5:37). Dan terhadap orang-orang yang menolak diri-Nya, Yesus berkata, “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu... Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yoh 8:44)
Sangat menarik, di NTT tepatnya di sebuah pulau Kristen yang bernama Rote, terdapat sebuah masyarakat dari kerajaan Thie. Menurut orang-orang asli dari masyarakat tersebut, Thie artinya terbuka. Mereka mempunyai adat yaitu berbicara apa adanya. Jika masyarakat cenderung berpola pikir rasional seperti orang Thie, bertindak jujur relatif lebih mudah untuk dipraktekkan. Tetapi bila berada di kalangan masyarakat yang emosional, ceritanya akan menjadi sedikit berbeda; bahkan bisa timbul konflik antar personal.
Saya yakin, orang-orang Kristen yang baik dan takut terhadap Tuhan akan berusaha sekuat tenaga untuk hidup jujur; apa adanya. Akan tetapi, dalam konteks pergaulan sosial, berada di tengah masyarakat yang cenderung mengedepankan emosi – artinya orang-orang yang menggunakan perasaan sebagai tolak ukur untuk berperilaku – berkata jujur, otentik, apa adanya bukanlah pilihan yang mudah. Itulah sebabnya, terkadang seseorang tidak bisa jujur sejujur-jujurnya saat berinteraksi dengan orang lain. Misalnya suatu saat kita meminta seseorang untuk memberikan penilaian atas kinerja kita. Tentu saja kita sangat siap dan senang menerima kata-kata pujian atas kinerja kita. Akan tetapi, pada umumnya kita tidak terlalu siap menerima sebuah kejujuran yang mengatakan kebalikan dari yang kita yakini. Apalagi jika orang itu mengatakan sesuatu tanpa kita minta pendapatnya.
Secara umum kita memang tidak ingin dibohongi, bahkan kita akan marah besar jika ada orang yang membohongi kita. Akan tetapi dalam konteks tertentu, seringkali kita tidak menyadari bahwa kita sebenarnya lebih memilih dibohongi daripada mendengar sebuah kejujuran dan perkataan apa adanya.
Sama seperti kita yang ingin hidup jujur – tidak ingin dibohongi – begitu pula dengan orang-orang lainnya. Akan tetapi karena tidak siap menghadapi sebuah kejujuran, kita malah lebih memilih dibohongi. Dan kita memaksa orang-orang lain untuk membohongi kita.
Bayangkan situasi seperti di bawah ini: Kita menaruh hormat pada seseorang dan karena itu kita berusaha menyenangkan orang tersebut. Suatu saat, ketika pergi ke kota lain, kita membawakan oleh-oleh. Karena kata orang-orang makanan itu enak, maka kita berpikir bahwa pemberian kita itu pasti akan diterima dengan senang hati. Padahal selera setiap orang tidaklah sama, bisa jadi perkiraan kita meleset 100%.
Kita pasti senang jika orang itu melaporkan seperti yang kita pikirkan. Namun jika tidak seperti yang kita harapkan, apakah kita siap menerima sebuah kejujuran? Apakah kita siap untuk tidak menjadi kecewa dan tidak tersinggung ataupun tidak merasa bahwa pemberian kita yang tulus itu ternyata sia-sia?
Katakanlah bahwa orang itu memang tidak menyukai pemberian kita. Maka, di dalam situasi seperti ini kebanyakan orang tidak siap menerima sebuah kenyataan. Karena itu, dalam rangka menjaga persahabatan dan karena khawatir kita akan kecewa dan tersinggung, juga takut dianggap tidak menghargai pemberian, maka dengan terpaksa orang itu mengatakan sesuatu yang bertentangan antara perasaan dan perkataannya. Begitu mendengar bahwa oleh-oleh itu enak, kita merasa senang. Padahal orang itu hanya ingin menjaga perasaan kita semata-mata.
Kita memang tidak mau dibohongi, tetapi di dalam hal ini, kita tidak siap menerima sebuah kejujuran. Karena itu, kita senang mendengar kebenaran yang sebenarnya palsu.
Membicarakan kebenaran terkadang tidak menyenangkan bahkan terkadang menyakitkan. Jika kita tidak siap menerima kenyataan ini, kita malah bisa membenci orang yang memberitahukan sebuah kebenaran. Itu jugalah yang terjadi dengan rasul Paulus ketika ia mengeluh, “Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?” (Gal 4:16)
Karena ketidaksiapan kita menerima sebuah kejujuran, kita memaksa orang-orang untuk tidak berbicara tentang kekurangan kita. Memang ada orang yang berprinsip jujur secara saklek, tidak peduli akibatnya akan seperti apa. Orang tipikal ini akan langsung berbicara begitu ia mencium aroma tidak sedap yang bersumber dari mulut atau ketiak kita. Dan dapat dipastikan – di dunia timur – orang bertipikal seperti itu akan mengalami kesulitan di dalam pergaulan dan tidak akan disukai di mana-mana. Padahal jika dipikirkan secara mendalam – sejauh orang itu tidak berniat untuk menjatuhkan – bukankah apa yang ia lakukan adalah demi kebaikan kita? Namun karena kita tidak siap menerima sebuah kejujuran, maka tetap saja masukan orang itu terasa pahit dan kalaupun diterima, akan disambut dengan perasaan pedih di hati. Karena situasi seperti itu, seseorang harus bersusah-susah belajar ilmu silat agar ia dapat mengatakan kebenaran yang tidak menimbulkan luka di hati orang lain.
Mengacu pada uraian di atas, bukankah sikap kita yang tidak bisa menerima sebuah kejujuran telah memaksa orang-orang untuk membohongi kita? Jelas itu adalah sebuah kesalahan karena kita menyusahkan orang yang ingin hidup jujur dan berniat menolong kita.
[DSM]