Nilai dan Nominal Persembahan
Kata orang, aspek terpenting dari persembahan adalah hati – rela, tidak terpaksa dan penuh sukacita (2 Kor 9:7) – nominal tidak menjadi masalah. Bukankah persembahan minim dari janda yang miskin (Luk 21:1-4) itu yang diperkenan oleh Tuhan? |
Saya tidak menafikkan faktor hati, tetapi jangan lupa, besar kecilnya nominal persembahan juga ada urusannya dengan hati. Persembahan sekedarnya pasti tidak menyusahkan hati, apalagi jika isi dompet masih berlimpah. Lantas apakah persembahan kita menjadi bernilai? Jika ya, maka pihak yang harus dipuji adalah orang-orang kaya dan bukan janda yang miskin itu. Dan lagi pula, jangan kita berpikir bahwa memberi semua di dalam kekurangan adalah perkara mudah. Itu sama sulitnya dengan orang kaya yang menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya. (Mat 19:16-22)
Nominal uang itu relatif, bagi janda miskin, menyerahkan semua nafkahnya tentulah sangat besar, namun angka itu tidak berarti bagi orang-orang berduit; termasuk bagi pengelola persembahan. Di sini kita harus insaf bahwa nominal tidaklah sama dengan nilai dari persembahan. Tapi keduanya sama pentingnya. Kita terbiasa membandingkan nominal persembahan orang-orang, tetapi tidak dengan nilainya. Di mata manusia, nominal sangat penting. Tetapi bagi Tuhan, nilai persembahan adalah segalanya. Sebab nilai itu berkaitan dengan spiritualitas. Jemaat-jemaat di Makadonia, tidak mampu memberikan nominal yang besar, sebab mereka sedang menderita oleh berbagai pencobaan dan sangat miskin. Tetapi persembahan mereka mencapai tingkat maksimal, bahkan dikatakan telah melampaui kemampuan mereka. (2 Kor 8:1-5) Abraham bisa memberikan persembahan yang besar karena ia kaya, tetapi ia diuji dengan cara mempersembahkan anaknya.
Persembahan seratus juta rupiah relatif besar angkanya, tetapi belum tentu dengan nilainya, jika orang itu memiliki harta ratusan milyar, apalagi jika disertai dengan keinginan untuk memamerkan religiusitasnya serta mengharapkan imbalan. Sementara persembahan tulus yang diberikan di dalam kekurangan justru bernilai tinggi karena itu adalah penyerahan totalitas dari nafkah, dan yang lebih penting adalah adanya aspek iman di balik pemberian itu, yaitu ketergantungan dan percaya akan pemeliharaan Bapa baik sebelum maupun sesudah persembahan. Jadi, nilai dari persembahan terbentuk oleh keputusan hati yang dengan rela menyerahkan apa yang dibutuhkan hingga ke tingkat maksimal serta ketergantungan yang penuh pada pemeliharaan Allah.
Karena itu, persembahan janda miskin lebih bernilai daripada pemberian orang-orang kaya. Si janda mendemonstrasikan imannya, sementara yang lain menunjukkan kesombongan rohani mereka.
Nilai dari persembahan adalah sangat penting dan nilai tersebut tercermin dari nominal itu sendiri. Nominal yang kecil bisa berarti nilai yang besar jika diserahkan dengan benar dan tulus sesuai dengan kondisi seseorang. Tapi tidak berarti bahwa semua persembahan yang bernominal kecil pasti bernilai besar.
Sebaliknya, nominal yang besar bisa berarti nilai yang kecil. Hal itu sangat bergantung dengan status dan motivasi kita di saat memberi. Seandainya kita mampu, maka seharusnya nominal itu lebih dari yang sudah-sudah, bahkan seharusnya mengarah ke batas maksimal. Jika kita mampu secara finansial, tetapi tidak mampu melakukan tindak iman, jelas nilai persembahan itu tidak jelas. Padahal setiap minggu kita menyerahkan uang persembahan, tetapi yang kurang di saat kita melakukan ritual itu adalah iman. Persembahan kita belum sampai pada taraf “berkorban” karena belum ada kerelaan sampai ke sana.
Melihat pemahaman itu, saya jadi cemas, jangan-jangan selama ini nominal yang kita serahkan selama ini kurang (baca: tidak) bernilai di mata Tuhan. Kita menggunakan 2 Korintus 9:7 dan Lukas 21:1-4 untuk membenarkan persembahan yang sekedarnya; padahal kemampuan kita lebih daripada yang telah kita serahkan.
Mengapa kita tidak menyerahkan lebih banyak daripada yang kita mampu lakukan? Ada berbagai kemungkinan: Pertama, kita tidak rela kehilangan kuasa yang tersimpan di dalam uang. Sebab semakin banyak uang yang kita miliki, semakin besar potensi kesenangan dan kemudahan yang kita miliki. Memberi lebih berarti berkurangnya kesenangan. Kedua, kita merasa uang kita adalah miliki kita, hasil kerja keras kita dan bukan berkat dan titipan Tuhan. Ketiga, kita tidak rela berkorban. Keempat, kita takut tidak dapat memenuhi segala kebutuhan yang timbul. Jadi persembahan yang kita serahkan adalah uang lebih dan bahkan lebih parah lagi, uang sisa. Kelima, Tuhan Yesus berkata, “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Luk 7:47) Berefleksi pada ucapan Yesus tersebut, ketidakmampuan kita untuk memberikan persembahan jangan-jangan ada kaitannya dengan ketidaksadaran kita tentang pengampunan Tuhan yang besar.
Setiap hari kita berdoa supaya Tuhan memberkati kita. Apa yang kita lakukan dengan berkat yang diberikan oleh Tuhan? Selain untuk kebutuhan harian dan bulanan, berkat-berkat itu kita gunakan untuk: hobi, tour, klub olah raga, termasuk biaya besar untuk disetor ke rumah sakit. Dan semua itu menyedot angka yang fantastis.
Apakah tidak aneh, berkat yang diberikan oleh Tuhan pada kita, kita siapkan dan relakan untuk disetor ke rumah sakit, sementara untuk kebutuhan pekerjaan Allah kita tahan-tahan?
“nilai dari persembahan terbentuk oleh keputusan hati yang dengan rela menyerahkan apa yang dibutuhkan hingga ke tingkat maksimal serta ketergantungan yang penuh pada pemeliharaan Allah..”
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.