Jangan Melupakan Kebaikan Orang Lain
Kebanyakan orang mempunyai kecenderungan yang jelek di dalam hal ingat-mengingat tentang kebaikan dan keburukan orang lain; di mana kita tidak sanggup mengenyahkan ingatan buruk kita tentang kekurangan seseorang, sementara kebaikannya acap kali terlupakan begitu saja. Karena kecenderungan konyol tersebut, ketika diminta untuk menyebutkan jati diri seseorang, maka kita akan dengan sangat lancar membeberkan satu per satu bahkan secara terperinci kekurangan seseorang, tetapi akan tersendat-sendat dan seterusnya macet, tatkala berbicara tentang kebaikannya. Di dalam contoh ini, mungkin yang bersangkutan memang banyak celanya dan tidak pernah melakukan kebaikan apapun terhadap kita, tetapi kemungkinan yang lain adalah karena kita sering kali mengabaikan jasa baik dari orang lain.
Jika dipikir secara mendalam, sebetulnya sikap melupakan jasa orang lain adalah masalah kepribadian yang sangat serius. Itu adalah cerminan kepribadian yang sangat negatif. Di dalam kisah eksodus bangsa Israel, kita dapat membaca betapa buruknya mentalitas umat pilihan itu yang baru saja mendapatkan pertolongan Tuhan tetapi kemudian dalam sekejap bersungut-sungut kepada Allah yang penuh rahmat pada mereka.
Perhatikan dan camkan baik-baik, ketika kita tidak mengingat jasa baik seseorang, maka yang terjadi pada kita adalah:
Pertama, kita adalah orang yang tidak bisa menghargai kebaikan orang lain. Ada orang yang beranggapan bahwa berbuat kebajikan adalah kewajiban moral setiap orang dan oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang istimewa yang perlu dihargai. Sama seperti orang tua yang berjuang untuk membesarkan anak-anak mereka, itu adalah kewajiban mereka, bukan kewajiban orang lain. Seorang anak yang berpikir seperti itu pasti tidak akan menghargai jasa dari orang tuanya.
Sungguh adalah sesat jika kita mempunyai anggap seperti itu. Seharusnya siapa pun yang berbuat kebaikan bagi kita, termasuk dari orang tua dan orang lain, kita patut menghargainya.
Kita orang Timur memang tidak sehebat orang Barat di dalam hal memberi apresiasi atau penghargaan. Dan ketidakhebatan kita itu bukanlah sesuatu yang membanggakan. Dan hal yang tidak membanggakan itu terpantul dari ketidaksanggupan kita untuk berterima kasih. Ada orang memang tidak terdidik untuk mengucapkan kata terima kasih. Itulah sebabnya, tatkala menerima kebaikan dari orang lain, ia tidak mengerti untuk mengucapkan kata-kata tersebut, karena memang di dalam hatinya tidak ada kosa kata itu.
Ungkapan “terima kasih” adalah istilah yang sangat sederhana. Tetapi di balik ucapan itu sebetulnya terkandung kualitas pribadi seseorang yang bisa menghargai serta rela menerima kebaikan dari orang lain.
Berbicara tentang ucapan terima kasih, setelah mendapat budi baik dari seseorang, tidak cukup bagi kita hanya berkata terima kasih dalam bentuk verbal dan formal saja. Jadi, bukan sekedar basa-basi dan kesopanan kemudian seterusnya untuk dilupakan. Tuhan Yesus mendirikan Perjamuan Kudus adalah agar para pengikut tidak melupakan pengorbanan diri-Nya. Tentu tujuan Yesus tidak berhenti pada titik ucapan syukur atas pengorbanan itu. Sebab bagi Yesus, sikap dan tindakan kita setelah Perjamuan itu jauh lebih penting.
Dari sudut pandang ini, kita boleh berkata bahwa ucapan terima kasih yang sejati adalah sebuah komitmen awal bahwa kita akan menghargai, mengingat dan mengenang kebaikan yang telah kita terima. Di dalam konteks seperti itu, manusia yang tidak tahu berterima kasih adalah manusia yang tidak sempurna kemanusiaannya.
Kedua, mungkin kita telah menyepele jasa baik seseorang. Adakalanya kita merasa bahwa jasa seseorang terlalu kecil, tidak berarti, tidak terasa faedahnya dan karena itu bisa dianggap tidak ada.
Sebetulnya setiap budi baik adalah sebuah bentuk pengorbanan dan seharusnya kita terbiasa untuk menghargainya sekecil apapun dan dalam bentuk apapun pengorbanan tersebut. Paulus menasihatkan Timotius untuk selalu mengingat orang yang telah mengajar kepadanya. (2 Tim 3:14)
Dengan demikian, menyepelekan jasa seseorang menunjukkan bahwa kita tidak bisa menghargai pengorbanan orang itu; pengorbanan tersebut kita dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja dan tidak dianggap. Sewajarnya, jasa yang patut diingat bukan saja atas perkara dan pengorbanan yang besar saja. Hal-hal yang remeh-temeh pun layak diingat dan dikenang sebab di dalam dunia yang sedemikian egosentris, perbuatan baik sekecil apapun tetap adalah sebuah paket yang istimewa. Ingat, kemampuan untuk mengingat jasa terkecil dari seseorang adalah menunjukkan kebesaran kita.
Ketiga, kita telah (maaf) lupa diri. Selain tidak tahu berterima kasih, orang-orang pasti akan menempelkan label pada jati diri kita sebagai orang yang tidak tahu diri; kacang yang lupa dengan kulitnya. Dan semua umpatan itu pasti cukup manjur untuk mengubah roman muka kita menjadi merah menyala.
Orang yang rendah hati ketika berbuat baik biasanya tidak ingin dikenang. Tetapi, bagi kita yang pernah menerima kebaikan orang itu, adalah patut untuk selalu mengingat dan mengenang kebaikan itu. Jika tidak, maka keburukan kepribadian kita tidak dapat ditutupi lagi, sebab ketidakmampuan mengingat kebaikan orang lain bukanlah semata-mata persoalan keterbatasan memori, tetapi lebih merupakan cacat kepribadian yang memalukan. Jika selama ini kita sama seperti orang-orang pada umumnya, semoga setelah ini kita dapat mengoreksi diri sehingga setiap kebaikan yang pernah kita terima akan kita patri di dalam hati kita dan kita ceritakan kepada anak cucu kita kelak.
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.